Gairah Sunyi Part II

Gairah Sunyi Part II

KILAUDEWASA -“Kamu sakit?” tanya mbak Darsih yang tahu-tahu sudah berada disana.

”Nggak, mbak.” kataku salah tingkah karena sudah dipergoki seperti itu.

”Kok di kamar aja,” kata mbak Darsih sambil tersenyum.

Aku hanya diam, tak tahu harus memberikan jawaban apa.

”Apa sesak lagi?” dia bertanya lagi, matanya menatap penuh pengertian.

”Ah, nggak juga, mbak.” kilahku untuk menutupi rasa malu, untungnya saat itu aku juga mengenakan celana longgar yang sedikit banyak bisa menyembunyikan tonjolan penisku.

“Ya udah, sini perutnya mbak minyakin biar nggak masuk angin lagi.” katanya, dan tanpa disuruh, dia pun meminyaki perutku, lalu memijatnya perlahan. Hal itu kembali membuat kontolku terbangun.

”Ih, dari luar memang nggak kelihatan, tapi dalamnya kelihatan sesak tuh,” mbak Darsih menunjuk daerah kontolku yang perlahan-lahan berubah menjadi semakin munjung.

“Ehm, iya kali, mbak.” kataku pasrah karena aku memang tidak bisa menutupinya lagi.

”Tegang ya?” bisik mbak Darsih sedikit genit.

”Iya, kenapa ya, mbok?” kataku polos.

“Nggak apa-apa, normal.” katanya sambil dengan tangan mulai mengusap-usap perlahan. Aku mulai merasa nikmat di batang kontolku akibat belaiannya. ”Mau dibuang?” tawarnya.

”Jangan, mbak, sayang.” kataku bodoh.

”Nggak apa, nanti juga ada gantinya.” ia tersenyum.

Aku terdiam, berusaha mencerna ucapannya. “Ehm, terserah mbak aja deh.” kataku pada akhirnya.

Kembali mbak Darsih menutup mukaku dengan bantal. Dan perlahan, kembali kurasakan nikmat menjalari batang kontolku saat dia menduduki dan menjepit batang kontolku di belahan lubang vaginanya.

“Mbak, kalau kakek pulang bagaimana?” tanyaku sambil merintih keenakan menikmati genjotannya.

”Tenang saja, nanti juga gedor pintu.” jawab mbak Darsih. Kurasakan goyangannya menjadi semakin cepat sekarang.

”Mbak, maksud mbak sesek itu apa?” tanyaku dengan tangan berpegangan erat pada sprei, berusaha menahan desakan nikmat dari batang penisku agar tidak cepat memancar keluar.

”Ah, kamu pura-pura nggak tahu ya?” kata mbak Darsih.

”Beneran, mbak.” sahutku masih dengan muka tertutup bantal. Tidak bisa kuketahui bagaimana raut muka mbak Darsih sekarang, tepai dari erangan dan rintihannya, sepertinya dia merasa nikmat sekali, sama seperti yang aku rasakan sekarang.

”Maksud mbak, ininya kamu sudah penuh.” katanya sambil meraba biji pelirku.

“Oh, kirain celanaku yang sesek.” kataku baru mengerti. Saat itulah mbak Darsih tersadar, ternyata kami telah salah paham. Dia langsung menghentikan gerakannya diatas kontolku. ”Mbak, kenapa?” tanyaku bingung, tak ingin kenikmatan ini terputus di tengah jalan.

”Aduh, gimana dong?” kata mbak Darsih sedikit panik. ”Maaf ya, kukira kamu mengerti…” dia sudah akan mencabut vaginanya, tapi segera kutahan pinggulnya.

“Nggak apa-apa, mbak. Aku nggak akan cerita sama kakek.” kataku menenangkan.

Mbak Darsih terdiam, seperti masih berusaha mencerna kata-kataku. ”Beneran ya?” ia bertanya memastikan.

”Iya, mbak. Asal mbak mau beginian terus sama aku.” kataku dari balik bantal. Selama dia tidak menyuruh, aku akan tetap bersembunyi.

“Baiklah, mbak juga sudah tanggung. Mbak pinjam sebentar inimu ya?” katanya sambil memegangi penisku yang kini cuma kepalanya saja yang masih menancap.

”Iya, mbak.” sahutku dengan senang hati.

Gadis Melayu Bujang Dan Gersang

Akhirnya mbak Darsih pun melanjutkan gerakan naik turunnya di atas batang kontolku, hingga tak lama kemudian, aku kembali memuntahkan cairan kental ke dalam memeknya.

”Terima kasih ya,” dia mencium pipiku dan kembali merapikan pakiannya.

”Sama-sama, mbak.” Aku yang kelelahan, dengan tetap telanjang, terlelap tak lama kemudian.

Sejak itu, sesekali, jika mbak Darsih lagi pingin, dia suka berbisik; ”Boleh pinjam nggak?” Atau jika aku yang pingin, aku terkadang berkata, ”Mbak, kayaknya sesek.” itulah kode yang kami sepakati.

Begitulah, hubungan terlarang kami terus terjalan. Bahkan kami seakan tak peduli tempat dan waktu, jika hasrat kami sudah tak terbendung, kami selalu berusaha menuntaskannya, kapanpun dan dimanapun. Bahkan pernah, di malam hari, mbak Darsih masuk ke kamarku dan naik ke atas tubuhku, padahal saat itu kakek lagi ada di rumah. Nekat sekali dia, tapi aku juga tidak bisa menolak karena aku tahu kalau kakek sudah terlelap.

Yang lebih gila, pernah kusetubuhi mbak Darsih di gubuk tengah ladang saat ia tengah mengantarkan makanan buat kakek. Sementara kakek mencangkul untuk membuat bedengan, kutindih istrinya yang masih nikmat dan cantik itu hanya dengan beralaskan tikar lusuh. Kakek sama sekali tidak curiga karena matanya memang sudah sangat rabun, ia tidak bisa melihat jelas ke gubuk dimana kami berada.

Sering juga saat kakek nonton teve di ruang tengah, kuseret mbak Darsih ke dapur. Hanya dengan bertumpu pada meja, kutusuk tubuh sintalnya dari belakang. Mbak Darsih berusaha menutupi mulutnya dengan tangan agar rintihan dan teriakannya tidak sampai terdengar oleh kakek. Tapi aku yakin itu tidak akan terjadi karena kakek juga sedikit tuli.

Tapi selama kami bercinta dan bersetubuh, aku dan mbak Darsih tidak pernah melakukan kontak lain selain pertautan alat kelamin kami. Aku tak pernah mencium bibirnya, juga meraba tubuh sintalnya. Paling banter aku cuma sedikit memeluknya kalau sudah konak banget. Jika lagi pingin, aku biasanya langsung menusukkan kontolku ke memek mbak Darsih tanpa melakukan foreplay atau pemanasan terlebih dahulu. Gairah kami yang meluap-luap sudah cukup untuk membuat memek mbak Darsih jadi basah dan lengket.

Jika mbak Darsih yang pingin, biasanya dia meremas-remas dulu batang penisku, baru memasukkannya ke dalam lubang kenikmatannya. Sesekali aku memang kadang meremas payudara montok milik mbak Darsih disela-sela genjotan kontolku, tapi tak pernah lebih dari itu. Bahkan melihat bagaimana warna dan bentuknya saja, aku juga tidak pernah. Bagiku yang penting kontolku bertemu dengan memeknya, itu sudah lebih dari cukup.

Sungguh, walau diperlakukan begitu, aku tetap puas. Begitu juga dengan mbak Darsih. Jika aku datang, menusukkan kontolku, dan pergi meninggalkannya jika sudah usai, baginya itu sudah merupakan hal yang paling nikmat. Rupanya setelah hampir setahun tak pernah merasakan kepuasan dari kakek, ia jadi gampangan seperti itu. Tapi untungnya ada aku yang siap memuaskannya sewaktu-waktu, hingga disela-sela kesepiannya, dan kesepian di kampungku, mbak Darsih tetap bisa meraih kenikmatan ragawi dan berpacu di malam-malam gelap dan sunyi bersamaku.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *