Mobil Merah Tetangga Sebelah Part II

Mobil Merah Tetangga Sebelah Part II

KILAUDEWASA –

 

Sesaat kemudian Gina sudah berdiri lagi di jendela kamarku. Melihat ke rumah Sesyl.
“Lihat Re, Sesyl pegang-pegangan sama om itu”, Gina mengucapkan hampir setengah berbisik karena tidak percaya.

Aku yang sedang mengenakan celana pendek kaget, dan bergegas menggunakan BH pink, senada dengan warna celana dalamku. Aku yakin yang sepenuhnya terjadi tidak seperti itu. Aku sangat yakin Sesyl pasti punya alasan sendiri tentang hal ini.

“Kita kesana aja yuk Gin”, aku berkata sambil memakai kaos kesayanganku yang bergambar kucing. Sesaat kemudian, aku menarik tangan Gina keluar kamar.

“Kita ga usah kesana deh, ga enak”, baru beberapa langkah kita berjalan, tiba-tiba Gina menahanku. Kami kemudian balik ke kamar dan duduk di ranjang.

“Apa mungkin Sesyl dijual ayahnya ke om-om itu ya ?”, Gina berbisik lagi ditelingaku.

Aku hanya diam, pikiranku kini berisi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Aku tidak ingin menghakimi begitu saja. Namun, apa yang kulihat benar-benar membuatku tak bisa untuk berpikiran positif lagi pada Sesyl. Sesyl memang sangat cantik. Di sekolah Sesyl menjadi idola, bukan hanya bagi anak laki-laki tetapi juga para guru. Selain karena dia yang cantik, otaknya juga cerdas. Sesyl memang langganan juara kelas. Itu membuat ia semakin populer di sekolah.

“Dijadiin istri muda atau istri simpanan mungkin?”, Gina lagi-lagi berspekulasi.

“Bisa jadi..”, tanpa sadar bibirku berucap demikian.

Aku tahu, tidak seharusnya aku mengatakan itu pada Gina, karena itu sama saja dengan memberi Gina dukungan untuk menyebarkan itu di sekolah. Biasanyakan yang sering mengumbar gosip di sekolahan kan Gina. Pasti sekarang dia merasa mendapat dukungan dariku.

“Gin, tolong jangan ngomong yang macam-macam di sekolahan ya, aku tidak ingin anak-anak berpikiran aneh-aneh tentang Sesyl”.

“Tapi kan kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri Re, kurang bukti apalagi?”, nada bicara Gina mulai berubah.

“Ya, cukup ini kita aja yang tahu, jangan disebar-sebarin”, aku mencoba berujar pelan agar tidak memancing emosi Gina.

“Iya deh iyaa, aku nggak akan kasih tahu siapa-siapa, tapi ada syaratnya”, Gina akhirnya tersenyum kembali.

“syarat apaaa, jangan aneh-aneh!”, aku menekankan kata aneh sambil mendelik, berpura-pura marah.

“cium aja kok, ga aneh kan Re?!”, ia berujar sambil menunjuk bibirnya, matanya mengerling nakal.

Aku terdiam sejenak. Ragu. Harga diriku sedikit terusik. Tapi, ahh, jangankan bibir, vaginaku saja sudah diciumnya tadi. Lantas harga diri seperti apa lagi yang harus ku bela?, pikiranku sedikit berkecamuk, akhirnya aku mengangguk dan tersenyum lemah.

Tanpa dapat ditahan lagi, bibir Gina langsung menerkam bibirku dengan ganas. Kami berciuman cukup lama. Sampai akhirnya pelan-pelan Gina melepas lumatannya.

“Tapi aku heran, kenapa kamu masih belain Sesyl?, sudah nyata-nyata kamu lihat sendiri”.

“Sstttt, udah ya buk gosipnya, kita kerjain tugas sekarang, biar kamu pulangnya tidak kemalaman”, aku menutup mulut Gina dengan telunjukku. Sesaat kemudian kita tertawa bersama.

Lagi-lagi aku terlambat ke sekolah. Kali ini aku berlari menuju kelas. Beberapa orang yang menyapaku saat berpapasan tak kuhiraukan. Beruntung aku masih diperbolehkan masuk oleh Pak Ginting, guru fisikaku.

Aku duduk di bangkuku dengan tenang, dadaku masih berdebar kencang karena lari tadi. Aku melirik Gina sesaat. Terpancar senyum manisnya, wajahnya biasa saja seolah-olah semalam kami tidak melakukan apa-apa.

“Re sepertinya apa yang kita bicarakan kemarin itu benar, coba lihat bangku Sesyl”, Gina setengah berbisik padaku. Aku tidak menjawab, namun secara refleks mataku melihat ke bangku kanan paling depan, bangkunya Sesyl kosong.

“Mungkin sekarang, Sesyl sudah pergi sama om-om yang kita lihat kemarin. Dan mungkin juga dia tidak sekolah lagi disini, soalnya tadi aku lihat di ruang guru, Ayahnya Sesyl bicara dengan Kepala sekolah”, Gina lagi-lagi mengoceh tanpa kuminta.

Pikiranku mulai melayang, aku tidak memperhatikan pelajaran. Aku ingat, semalam ibu sempat mengatakan kalau beberapa waktu lalu pak Joni meminta tolong ibu untuk menjualkan rumahnya.

Pin ini berisi gambar:

“Apa mungkin dugaan kita itu benar ya, Gin?”, aku menghela nafas panjang.

Aku keluar dari kantin, ingin ke kelas. Akhirnya aku terbebas dari rasa lapar yang membelenggu sejak pagi tadi. Aku baru saja memasuki kelas ketika seseorang memanggilku. Aku menoleh ke belakang.

“Re, benar ya kalau Sesyl dijual ayahnya ke om-om hidung belang?”, aku kaget mendengar pertanyaan Ririn, teman sekelasku.

“Kata siapa?”, aku balik bertanya. Bukannya menjawab tapi Ririn malah menunjuk ke arah bangkuku. Ternyata disana sudah berkerumun teman-teman sekelas mengelilingi Gina yang sepertinya asyik bercerita.

“Tanya Rere aja kalau kalian masih nggak percaya”, Gina menunjuk aku yang sedang berjalan kesana. Matanya menatapku tajam seolah-olah memintaku untuk memberi pernyataan yang mendukungnya. Alhasil anak-anak kelaspun mengerubuti ku. Aku mendelik ke arah Gina, dia hanya tersenyum menghampiriku, dan membisikkan sesuatu. Aku menghela nafas sejenak.

Akhirnya aku ikut-ikutan bercerita tentang kejadian yang kami lihat kemarin. Tak butuh waktu lama, gosip itupun menyebar di berbagai kalangan di sekolah ini. Sebenarnya aku merasa bersalah karena hal ini, tapi Gina berusaha meyakinkanku bahwa apa yang kami lakukan tidak salah.

Hari ini aku pulang agak sore. Baru saja masuk ke rumah, terdengar suara ibu memanggilku di dapur. Aku berjalan menuju dapur dan ku lihat ibu sedang asyik memasak untuk makan malam kami.

“kamu mau ikut ke Semarang minggu ini?”, ibu bertanya tanpa melihat kearahku.

“Pamannya Sesyl menikah, tadi sebelum pak Joni dan Sesyl berangkat ke Semarang, pak Joni memberi kita undangan”, ibu menjelaskan padaku. Sesaat kemudian ibupun menceritakan tentang paman Sesyl tersebut. Ia adalah anak kelima dalam keluarga ayah Sesyl. Seorang tentara. Sempat ditugaskan ke Jalur Gaza sebagai pasukan perdamaian. Sehingga kami tidak pernah bertemu ataupun melihatnya. Ibu juga menceritakan bahwa mobil Jazz yang beberapa hari ini dipakai oleh pak Joni adalah mobil adiknya itu. Ya, paman Sesyl itu meminta tolong pak Joni untuk membeli mobil untuknya. Dan kemarin, paman Sesyl itu baru saja datang dari Gaza. Menjemput mobilnya sekaligus mengajak Sesyl dan ayahnya untuk pulang ke Semarang membantu persiapan pernikahannya.

Akhirnya semuanya jelas. Teka teki tentang Sesyl dan Honda Jazz merah. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling berdosa karena sudah menuduhkan hal-hal yang tidak dilakukan oleh Sesyl. Dan parahnya lagi semua itu sudah menyebar di sekolah.
Aku berlari menuju kamarku sambil terisak. Ibu yang menyadari itu segera menyusulku. Ibu duduk diranjangku dan membelai rambutku.

“kamu kenapa tiba-tiba nangis? ada yang ingin kamu ungkapkan?”

Aku hanya terisak dan langsung memeluk ibu. Beberapa menit lamanya aku hanya menangis dipelukan ibu. Setelah agak reda, akupun menceritakan semua yang terjadi beberapa hari ini kepada ibu, termasuk yang baru saja aku dan Gina lakukan di sekolah tadi. Tentu saja aku merahasiakan pergulatan nafsuku dengan Gina.

Ibu tidak marah, ia tersenyum kemudian menghapus air mataku dengan tangannya yang lembut.

“kamu tahu Rere sayang, tidak semua yang kamu lihat itu benar. Meskipun kamu melihatnya dengan mata kepala sendiri, tetapi semua tetap butuh penjelasan, kamu tidak bisa menghakimi begitu saja atas pandangan matamu”, ibu menasehatiku seperti biasa.

Aku sadar aku yang salah. Aku harus meluruskan kembali gosip yang tersebar tentang Sesyl tadi. Dan aku harus melakukan itu sebelum Sesyl kembali dari Semarang, Senin depan. Aku tidak tahu bagaimana caranya tapi aku pasti akan melakukannya untuk Sesyl. Aku janji.

 

TAMAT…

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *