KILAUDEWASA –Sore itu aku sedang berada di atas kereta api dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta, setelah tugas dari kantor selesai dilaksanakan. Ketika melewati daerah Padalarang, diluar jendela kereta terlihat hamparan sawah yang terjepit diantara kampung dan perbukitan. Aku jadi teringat kampung halamanku. Lamunanku membawa aku kembali ke kampungku….LIMA BELAS TAHUN YANG SILAM….
Aku tinggal di sebuah kampung di pedalaman pulau Sumatera yang dikelilingi oleh pegunungan. Sebagian besar penduduk dikampung kami berprofesi sebagai petani baik bersawah maupun berkebun. Udara yang sejuk dan tanah yang subur sangat mendukung kegiatan pertanian. Dipinggir kampungku ada sebuah sungai yang selain digunakan untuk mengairi sawah juga digunakan untuk mandi dan mencuci.
Oh ya, namaku Herman dikampung aku biasa dipanggil Maman. Aku anak pertama dari dua saudara. Kedua orang tuaku merantau ke negara tetangga, *hanya pulang kampung waktu Lebaran saja. Jadi dirumah kami tinggal bersama nenek. Usiaku sekarang menginjak 16 tahun dan aku duduk dikelas 1 SMA di kota kecamatan sekitar 3 km dari kampungku. Jadi aku ke sekolah pakai sepeda atau numpang pada teman yang bawa motor.
Sebagaimana layaknya anak laki-laki di kampung, kebiasaanku setelah pulang sekolah adalah kumpul bersama teman-teman. Dari sekian temanku, yang paling akrab adalah Rizal. Kami sudah berteman sejak kecil bahkan sebelum masuk SD. Keakraban kami terjalin tidak hanya karena kami seumuran, tapi karena kami keluarga dekat. Ibunya Rizal, yang biasa kupanggil Bi Marni adalah adik sepupu Ibuku. Aku pun sudah dianggap seperti anak sendiri. Umur Bi Marni kurang lebih 40 tahun. Bapaknya Rizal yaitu Wak Amir sudah meninggal hampir dua tahun yang lalu karena sakit. Kata orang Wak Amir bekerja terlalu keras di sawahnya dan juga berkebun. Rizal anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakaknya merantau keluar daerah, tinggallah Rizal berdua Bi Marni saja di rumah. Ada beberapa pria yang ingin mendekatinya, tapi tanggapan Bi Marni dingin saja.
Rumahku dan rumah Rizal saling berdekatan sejarak 100 meter. Rumah Rizal sudah seperti rumahku sendiri, aku terkadang menginap dan makan disitu. Rumah ini mempunyai 3 kamar, dua kamar didepan saling berdekatan, kemudian terpisah satu kamar dibelakang dekat dapur. Rizal menempati kamar paling depan, satu kamar lagi bekas kakaknya sekarang kosong, sedangkan Bi Marni di kamar paling belakang. Di bagian depan rumah, Bi Marni membuka warung kecil-kecilan. Di warung inilah kami sering nongkrong sampai larut setiap malam minggu atau liburan. Biasanya Bi Marni menjaga warung sampai jam 6 sore, lalu kadang-kadang malamnya dilanjutkan oleh Rizal sampai sekitar jam 9.
Siang itu sepulang sekolah aku kerumah Rizal, tapi ternyata yang ada hanya Bi Marni lagi jaga warung.
“Rizal kemana Bi..?” tanyaku sambil duduk di bangku warung.
“Tadi katanya ke bengkel motor di kota kecamatan”, jawab Bi Marni. Aku perhatikan memang motor bebek Rizal tidak kelihatan. Biasanya selalu di parkir di selasar depan warung. Ya sudah, akhirnya aku pilih menunggu di warung sambil bantu Bi Marni melayani pembeli. Karena sepi pembeli aku jadi banyak memperhatikan sosok Bi Marni yang sedang merapikan barang-barang.
Bi Marni memakai kaos oblong dan kain panjang yang dililit ketat seperti penjual jamu. Walaupun sudah berumur 40 tahun tubuh Bi Marni masih terlihat menggairahkan, tidak gemuk tapi montok. Dengan tinggi badan sekitar 160 cm, payudara yang besar (belakangan aku baru tahu ukurannya 38 C) dan pantat yang bahenol walaupun perutnya agak sedikit maju. Kulitnya kuning langsat dengan wajah oval dan sepasang mata yang bulat besar. Wajah dan tubuh Bi Marni mengingatkan aku pada aktris-aktris film India.
“Man, tolong bantu Bibi mindahin karung beras ini ya,” kata Bi Marni.
Aku langsung bergerak menuju ke salah satu ujung karung. Ketika Bi Marni menunduk untuk meraih karung itu, mataku tanpa sengaja melihat ke celah kaos Bi Marni yang longgar. Tampaklah bongkahan payudara yang montok dan putih samar terlihat urat-urat berwarna kebiruan. Kedua bukit kembar itu seakan mau tumpah dari BHnya. Darahku langsung berdesir, kerongkonganku seakan tercekat
“Siap ya Man, satu…dua..tiga…!” ucapan Bi Marni mengagetkan aku. Karena cukup berat, posisi kami mengangkat karung agak membungkuk. Jadi aku cukup lama menikmati pemandangan dari celah kaos Bi Marni hingga karung kami letakkan di sudut warung.
Ketika Bi Marni membelakangiku, mataku langsung tertumbuk pada bongkahan pantatnya yang semok dibalik ketatnya kain panjang. Perlahan tapi pasti “adik” kecilku mulai bereaksi membentuk tonjolan di celanaku. Aku gelisah, takut kalau Bi Marni melihatnya.
“Bi, Maman pulang dulu ya”, aku beralibi sambil berusaha menutup tonjolan di celanaku. “Lho, sebentar lagi paling si Rizal juga datang”, sahut Bi Marni. Aku tidak merespon dan langsung bergegas pulang.

Sampai di rumah aku termenung di teras, membayangkan kejadian yang baru saja aku alami. Entah berapa lama aku termenung sendirian, hingga aku dikagetkan ada yang memanggil namaku.
“Man, oiii…! Rizal sudah pulang, itu lagi ada di warung”, *teriak Bi Marni sambil melewati jalan setapak di depan rumahku hendak menuju ke sungai. Tubuhnya hanya dibalut kain panjang sebatas dada sehingga bahunya yang putih mulus terpampang jelas. Handuk dililitkan dikepalanya, sedangkan tangan kanannya menjinjing ember berisi cucian.
“Eh, iya Bi”, aku menjawab sekenanya.
Mataku tak pernah lepas menatap goyangan pantat Bi Marni hingga menghilang dari pandanganku. Pikiranku berkecamuk oleh rasa penasaran ingin melihat lebih jauh dari yang sudah kulihat di warung tadi. Jam dinding di ruang tamu sudah pukul 5 sore, aku langsung bergegas menyusul Bi Marni.
Sesampai di sungai, aku langsung bersembunyi dibalik semak kurang lebih 10 meter arah depan dari tempat mandi perempuan. Ternyata Bi Marni baru selesai mencuci dan masuk ke sungai untuk mandi, kain panjangnya yang basah melekat membentuk lekuk tubuhnya terutama bokong dan teteknya. Aku menelan ludah, burungku langsung tegang. Kedalaman sungai hanya selutut orang dewasa.
Aku lihat Bi Marni berdiri menyabuni tubuhnya dan mengendorkan ikatan kainnya. Dia menyibakkan kainnya untuk menyabuni betis dan pahanya yang putih. Tangan kanan Bi Marni menggosok-gosok selangkangannya sedang tangan kirinya meremas buah dadanya. Sejenak mata Bi Marni mengawasi sekitarnya, lalu tiba-tiba kain panjangnya diturunkan hingga ke pinggang. Kedua buah dadanya menggantung seperti mangga yang ranum, putingnya berwarna kecoklatan.
Melihat pemandangan seperti itu aku langsung mengelus burungku. Elusan tanganku berubah menjadi kocokan ketika kulihat Bi Marni semakin bergairah menggosok selangkangannya. Matanya terpejam sambil mengatupkan bibirnya, tangan kirinya memilin puting susunya.
Ternyata dibalik sikapnya yang dingin, Bi Marni sangat haus sentuhan laki-laki. Beberapa saat kemudian tubuh Bi Marni mengejang seperti kena setrum. Aku mempercepat kocokanku dan….crott…crott! Spermaku tumpah ke semak-semak. Setelah Bi Marni selesai mandi, aku pun pulang dengan perasaan yang ringan.
Hari-hari berikutnya, mengintip Bi Marni mandi menjadi aktivitas rutinku. Aku benar-benar terobsesi dengan kematangan seorang wanita dewasa pada diri Bi Marni.
Aku jadi sering bantu Bi Marni diwarungnya, terutama kalau Rizal sedang tidak di rumah atau lagi bermalasan di kamarnya. Ruangan yang sempit diantara rak barang membuat badanku sering berdempetan dengan Bi Marni. Sikutku kadang kusenggolkan ke dadanya, atau ketika mengambil barang di rak selangkanganku kudempetkan ke bokong Bi Marni. Kelihatannya Bi Marni acuh saja, mungkin mengira aku tidak sengaja.
”Man, anterin Bibi nengok sawah ya, mau lihat apa sudah bisa dipanen belum. Si Rizal kakinya keseleo habis main bola”, kata Bi Marni suatu hari. Setelah mengunci pintu dan menutup warung, tangannya mengulurkan kunci motor Rizal. Hari minggu siang itu Bi Marni memakai kebaya dan kain panjang sebatas lutut, rambut panjangnya digulung bertutup kain selendang. Wah, pucuk dicinta ini namanya. Setelah motor kuhidupkan, Bi Marni lalu naik dibelakang dengan posisi menyamping.
Jarak ke sawah sekitar 1,5 km melewati jalan tanah yang bergelombang. Ketika lewat jalan berlubang motor agak oleng, tangan kanan Bi Marni reflek melingkari pinggangku sehingga buah dadanya terasa begitu kenyal menempel di punggungku. Akibatnya aura mesum langsung merasuki otakku.