KILAUDEWASA –Aku, Rudi, dan istriku, Dian, memiliki selisih usia sekitar 6 tahun. Kami berdua telah menikah selama 5 tahun, dan telah dikaruniai 2 orang anak yang sangat lucu. Aku bekerja sebagai karyawan swasta, dan istriku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Kehidupan kami biasa saja, bahkan terlalu biasa. Awal perkenalan kami adalah ketika kami berdua sama-sama tersesat dalam perjalanan wisata ke Yogjakarta. Dan dari situ, aku merasakan indahnya jatuh cinta kepada calon istriku di pandangan pertama. Karena tak beberapa lama setelah pertemua kami, aku langsung melamar dan menikahinya.
Bagiku, Dian adalah sosok wanita yang sangat cantik. Wajahnya bulat, berambut hitam lurus sepundak, berkulit putih, berkaki panjang dan yang paling membuatku semakin jatuh cinta adalah, senyum dan tatapan matanya, yang mampu membuat dunia seolah berhenti berputar. Aku pikir, perbedaan usia kami bukanlah sebuah kendala. Sehingga ketika ia berulang tahun ke 18 tahun, sebuah pernikahan sederhana langsung aku persembahkan padanya.
“Kita pasti bisa menghadiri acara si Ratu khan mas…?” Tanya Dian dengan senyum andalannya.
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku hanya mengangguk sambil membalas senyum istriku.
“Kamu memang suami adek yang paling pengertian…” girang istriku.
Dengan nada yang masih antusias karena kegiranganan, Dian langsung kembali meneruskan acara telephonnya dengan kakaknya.
“Selama kamu senang, aku pun bisa senang dek…” ucapku dalam hati.
Andai saja aku bisa meramalkan kejadian beberapa waktu kedepan, aku pasti tak akan mengijinkan istriku pergi ke acara pernikahan itu. Karena semenjak acara pernikahan itu, semua kisah cinta dan pernikahan kami berubah 180 derajat.
Hari H pun telah mendekat. Beberapa hari lagi, pernikahan yang semua akomodasi, penginapan dan konsumsi sudah dipersiapkan oleh keluarga Ratu dan Putra, akan segera dilaksanakan. Dari kotaku berada, kami berangkat berempat. Aku, istriku, Dwita (kakak iparku), dan Romy (anak Dwita), naik pesawat paling pagi menuju Semarang. Sengaja kami tak mengajak kedua anak kami, karena kami pikir, perjalanan kami ke Semarang cukup jauh, mau tak mau kedua buah hatiku aku titipkannya ke kerabat terdekat. Sebenarnya, aku dan Dwita sangatlah jarang bertemu, sehingga untuk mengakrabkan diri, istriku memintaku untuk bertukar tempat duduk dengan kakaknya. Aku duduk bersebelahan dengan Dwita, sedangkhan Dian duduk bersebelahan dengan Romy.
“Okelah… untuk sementara ini aku agak menjauh dari istriku…. Toh hanya beberapa hari ini saja…” batinku, sambil mulai membuka percakapan dengan Dwita. Selama perjalanan, perbincanganku dengan Dwita berjalan cukup seru. Dwita orangnya cukup santai dan pandai suka bercanda. Sifat mudah bergaul itu menurun kepada Romy, anaknya. Karena dari sepenglihatanku, tak henti-hentinya istriku tertawa akan semua cerita yang dibawakan keponakannya itu.
Pada awalnya, aku sama sekali tak memperhatikan percakapan antara istriku dan keponakannya, karena pada saat yang bersamaan, aku juga sedang seru bercakap-cakap dengan Dwita. Namun ketika Dwita sudah mulai mengantuk dan pada akhirnya tertidur, aku baru sadar jika percakapan istriku dengan kekeponakannya agak sedikit ‘menjurus’ ke hal-hal berbau mesum. Mereka sepertinya sudah terbiasa membicarakan ke-mesum-an diantara mereka, karena dari gaya bicaranya, mereka terlihat begitu santai dan akrab. Mungkin karena mereka sudah berteman baik sejak kami menikah dan Romy hanyalah seorang anak kecil yang baru menginjak remaja, aku jadi mulai menganggapnya lumrah. Waktu itu, Romy masih berusia sekitar 15 tahun, bertubuh tinggi kurusa namun maskulin dan energik. Berkulit gelap dan memiliki wajah mirip Dwita, tidak termasuk ganteng memang. Sehingga perlahan, api cemburu mulai menyala di dalam dadaku ketika mengawasi gerak-gerik mereka.
Tak beberapa lama, kami tiba di Semarang dengan selamat. Turun dari pesawat, kami langsung menuju ke hotel sembari menyiapkan diri untuk menghadiri acara pernikahan yang akan diadakan di sore harinya. Acara pernikahan Ratu dan putra pun berjalan dengan lancar, tak ada kendala sedikitpun. Di penghujung acara, sebelum para undangan akan berpamitan, ada sebuah permintaan dari kedua orang tua mempelai yang meminta kami semua supaya menghadiri acara informal keesokan paginya. Acara informal yang memiliki agenda untuk saling mengenal kedua keluarga secara lebih dekat. Dan karena acaranya tak formal dan berlokasi di dekat pantai, kami diminta untuk mengenakan pakaian sesantai mungkin. Keesokan harinya, acara informal itupun berlangsung dengan tak kalah meriahnya dengan acara pernikahan. Ada berbagai macam acara, mulai dari acara sambutan pagi, acara makan-makan, acara karaoke, hingga acara permainan yang harus dimainkan oleh semua orang, termasuk aku dan istriku.
Pagi itu, Dian terlihat begitu cantik dalam tanktop dan celana jeans pendeknya. Dengan tinggi 165 cm, payudara 36C yang menggantung di depan dadanya terlihat begitu menggoda. Selalu bergoyang kesana kemari setiap ia bergerak. Ditambah lagi dengan sinaran panas matahari yang menerpa kulit putihnya, membuat payudara itu terlihat begitu ranum. Putih dengan rona merah. Satu lagi yang aku banggakan dari sosok istriku adalah, keahliannya dalam menggoda setiap lelaki. Memamerkan perut ramping tanpa lemak dan pantat bulat yang hanya dibungkus dengan celana jeans pendeknya, membuat hampir semua orang tak ada yang percaya jika Dian telah menikah dan memiliki 2 orang anak.
Tak beberapa lama, acara permainan pun dimulai. Untuk membuat semua hadirin yang hadir dalam acara informal itu dapat ikut serta dalam permainan, presenter dengan pintarnya membagi kami dalam beberapa kelompok. Tiba-tiba aku sadar, jika mayoritas undangan yang datang untuk mengikuti permainan berusia cukup muda, dan entah kenapa, aku mendadak merasa sudah terlalu tua untuk mengikuti semua permainan yang akan dilakukan. Aku lebih memilih duduk di sudut taman, dan melihat mereka ketika melakukan permainan-permainan tersebut. Kami dan para undangan lainnya saling tertawa melihat permainan yang mulai berjalan. Hingga pada sebuah kesempatan, ada giliran satu permainan yang mengharuskan aku dan istriku untuk maju ke tengah. Namun karena malu, aku hanya bisa menolak dan tersenyum sambil berdada-dada ria.
“Ayo Rud… maju…. Ini hanya permainan…” teriak beberapa undangan.
Berbeda denganku, Dian terlihat begitu antusias untuk bisa tampil. Dia berulang kali menarik-narik lenganku untuk mengajakku ketengah hadirin. Tapi, karena aku bersikeras menolak dan lebih memilih untuk ingin melewatkan kesempatan ikut permainan itu, akhirnya Dian pun menyerah.
“Supaya adil, apakah pak Rudi mempersilakan ibu Dian supaya bisa bermain game dengan orang lain? “ Tanya sang presenter tiba-tiba.
“Hmmm… boleh deh….” Jawabku singkat, saat itu aku hanya ingin acara permainan ini cepat-cepat selesai dan kami bisa segera kembali ke hotel.
“Pak Rudi yakin…?” Tanya presenter itu lagi “Game ini bakal melibatkan beberapa adegan gosok menggosok kulit loohh… hehehe” tambahnya lagi, seolah-olah menantang saya untuk berpartisipasi.
Tapi aku tetap pada pendirian awalku. “Iya… bolehlah… “ jawabku lagi.
“Okelah kalo begitu… untuk mempersingkat waktu… Ibu Dian mau memilih untuk berpartner dengan siapa…? tanya sang presenter sambil menyodorkan mic kearah Dian.
“Romy…. “ jawab singkat istriku.
“Oke Romy…. Lelaki yang sangat beruntung, ayo segera maju….” Tutup sang presenter sambil kembali meneruskan acara permainan itu.
Tiga permainan akan dimainkan. Yang pertama adalah permainan memindahkan buah apel yang hanya boleh dibawa dengan cara meletakkannya diantara dahi peserta lomba. Ada sedikit perasaan aneh ketika melihat Dian dan Romy waktu menyelesaikan permainan. Mereka begitu menikmatinya. Terlebih Karena permainan ini mengharuskan kedua wajah peserta saling berdekatan, sehingga jika dilihat dari jauh, wajah istriku dan Romy terlihat seperti sedang berciuman. Namun karena pasangan istriku dan beberapa belas pasangan lainnya berhasil, dan masuk ke dalam nominasi permainan berikutnya, aku dapat meredam rasa aneh itu.
Lomba kedua adalah lomba gendong pasangan sambil menyelesaikan beberapa macam perintah, seperti joged, berlari, ataupun mengambil sebuah barang yang disangkutkan diatas ranting pohon. Untuk lomba kali ini, rasa aneh yang ada di dalam dadaku, mulai berubah menjadi api cemburu. Karena dalam permainan ini, Romy harus menggendong istriku diatas pundaknya. Sehingga vagina istriku berada di tengkuk Romy, payudara besar istriku juga tak jarang bersandar di kepala belakang Romy. Dan lagi, beberapa kali aku melihat tangan Romy meraba-raba dan pantat istriku guna menjaga keseimbangan. Tapi karena aku lihat konteksnya hanyalah sebatas sebuah permainan, aku bisa menerimanya. Dan sekarang tiba di lomba ketiga. Lomba dimana Dian dan tiga pasangan lain berhasil masuk nominasi finalis. Lomba ketiga adalah lomba terakhir guna menentukan pemenang. Sang presenter sedikit menjelaskan beberapa aturan permainan, dan juga menjelaskan jika itu adalah lomba yang sedikit ‘berani’ dan banyak adegan mesumnya.
“Iya… tidak apa-apa….” jawabku singkat sambil tersenyum, ketika presenter itu kembali bertanya apakah aku merpersilakan istriku bermain dengan lelaki lain.
“Lomba ketiga adalah lomba memindahkan koin dari dahi peserta wanita kearah pusar…” ujar sang presenter.
“Ah… itu mah lomba yang mudah…” batinku dalam hati sambil mengambil nafas lega.
“Cuman… cara memindahkannya bukan dengan tangan” tambah sang presenter “Melainkan dengan…… lidah”
“Wow wow wow… ini benar-benar lomba yang mesum…” Pikirku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, karena selain aku sudah mengiyakan permintaan presenter, aku juga malu jika harus merusak mood Dian yang sebentar lagi bisa saja menang.
“Pemenang lomba ini adalah makan malam romantic dan sebuah iphone untuk masing-masing peserta…” teriak sang presenter sambil diikuti teriakan seru para penonton.
4 buah meja, diletakkan berdekatan diantara para peserta. Dan para peserta wanita diminta untuk tidur terletang. Sebuah koin kecil, diberikan panitia kepada peserta pria supaya diletakkan pada dahi pasangan wanitanya. Bagiku, itu adalah lomba yang sangat seksi. Terlebih melihat tubuh istriku yang pagi itu hanya terbalut dalam tanktop tipis dan celana pendek, semakin membuat perlombaan terakhir ini terasa makin menggairahkan. Saking menggairahkannya, aku bisa melihat jika benda yang ada di selangkangan Romy telah membesar sejak awal perlombaan.
“Yaaak… siaaappp… mulai….” Aba-aba sang presenter memulai permainan.
Pertandingan pun dimulai, dan Romy perlahan mendorong koin dengan lidahnya. Alih-alih merasa malu, Dian hanya bisa tertawa-tawa geli karena sekilas, Romy terlihat seperti sedang menjilat-jilati wajah dan leher Dian. Melihat tingkah mereka, aku benar-benar merasa cemburu. Apalagi ketika koin itu telah bergulir ke arah dada istriku dan masuk ke belahan dadanya. Dian yang merasa kegelian hanya bisa tertawa-tawa kecil sambil sedikit melenguh seolah merasakan keenakan ketika menerima jilatan lidah basah kekeponakannya itu. Sejenak, Romy menghentikan jilatan pada payudara istriku dan menatapku tajam, seolah bertanya apakah ia bisa melanjutkan.
“Ayo Rom… terusin jilatinnya… dorong terus… kita pasti menang.. hihihi… ” ucap Dian membuyarkan tatapan tajam kami berdua.
Tidak ingin terdengar seperti orang tua yang tersiram api cemburu, sehingga aku menganggukkan kepalaku, mengijinkan Romy meneruskan jilatannya pada payudara istriku. Melihat persetujuanku, lidah Romy langsung bermanuver lincah pada belahan dada istriku. Itu adalah pemandangan yang sangat seksi, pemandangan yang membuatku sangat cemburu dan terangsang. Apalagi ketika aku juga menyadari jika selain tonjolan benda yang ada di selangkangan Romy semakin membesar, putting payudara istriku juga tinggi menyembul, terlihat begitu nyata menembus kain tipis tanktopnya. Dian hanya bisa cekikikan sambil berusaha mencoba menahan sensasi geli dari lidah Romy yang berkeliaran di sekujur kulit payudaranya. Hingga pada akhirnya, Romy berhasil menempatkan koin itu ke dalam lubang pusar Dian sehingga mereka ditetapkan menjadi juara perlombaan di pagi hari itu.
Acara makan malam romantis buat pemenang game tadi pagi, terasa begitu mewah. Kami disuguhi dengan berbagai macam makanan, minuman, dan snack. Setelah makan malam, kami berdua langsung dipijat, sauna, lalu mandi. Hinga pada akhirnya, setelah semua sajian hadiah pemenang telah semua kami nikmati, kami kembali ke kamar dan bersiap untuk tidur. Intinya, malam itu kami benar-benar terpuaskan oleh sajian hotel. Setibanya di dalam kamar, kami langsung bersantai di ruang TV. Aku akui jika seharian itu aku benar-benar horny dan anehnya, akupun bisa merasakan istriku horny juga. Kami mulai minum bir, Dian tidak minum tetapi ia mengambil setengah gelas dan segera menenggaknya habis.
“Sayang aku sange banget… ngewe yuk…” pintaku sambil berbisik lirih di telingan Dian.
Dian tak menjawab permintaanku, dia hanya bisa tertawa kecil sambil memegang dan mengurut selangkanganku yang sudah menegang dari luar celana pendekku. Aku kecup bibir tipisnya, mencoba menyalurkan nafsuku yang sudah menggebu pada dirinya. Kuraba payudara dengan putingnya yang sudah membesar, dan kuremas perlahan.
“Aku pengen nidurin kamu sampe pagi dek…” ucapku lagi.
“Aku juga mas… pengen ngerasain sodokan tititmu….” Jawab Dian.
“Kamu udah bener-bener basah dek… pasti kamu sange banget ya…?”
“Hhmmmpppghghhh…” desah Dian mengiyakan.
“Nafsu menggebuku pasti bisa terlampiaskan malam ini….” Ucapku lirih sambil perlahan mulai melucuti jubah mandi Dian.
Namun, ditengah pendakian kami berdua, tiba-tiba…TOK TOK TOK ! terdengar suara ketukan dari pintu kamar hotel.
“Tante Dii…. Tantee….” Itu suara Romy.
“Sialan… ngapain lagi sih bocah itu… mengganggu saja….” Umpatku
“Bukain aja dulu mas… siapa tahu ada yang penting… ntar khan ngewenya bisa kita lanjutin lagi…” redam istriku sambil merapikan jubah mandinya.
Ternyata tujuan Romy mengganggu acara malam kami hanyalah dikarenakan ingin berpamitan. Pesawat yang mereka tumpangi, memiliki jadwal yang agak berbeda dengan jadwal kami, sehingga ia ingin mengucapkan selamat tinggal dan sedikit berbasa-basi.
“Masuk aja Rom… Tante Di ada di kamar mandi…” ujarku sambil mempersilakan bocah 15 tahun ini masuk.
Dan setelah Romy masuk ke kamar, aku langsung menuju ke sudut kamar dan menonton TV yang ada di ujung kaki tempat tidur. Aku duduk di kursi sofa yang ada samping tempat tidur dan Romy hanya duduk beberapa meter dari tempatku duduk. Di ujung tempat tidur, menghadap tepat ke arah TV. Tak beberapa lama, Dian keluar dari kamar mandi dan ikut duduk disamping Romy, nimbrung bersama.
Sambil menonton TV. kami mulai berbicara tentang apa saja. Pada awalnya, pembicaraan kami terasa agak canggung, oleh karena itu, aku iseng menawarkan bir untuk memperhangat suasana.
“Nggak Om… ntar mami Romy tau… “
“Udah… sedikit aja Rom… udah gedhe ini… “ candaku.
“Sedikit aja kali ya…” ucapnya singkat sambil mengambil gelas gelas bir yang aku sodorkan padanya.
Tiba-tiba, ketika sedang melihat Romy dan istriku bercakap-cakap dari belakang, aku teringat akan kejadian tadi pagi dimana mereka lomba. Kejadian dimana selangkangan Romy membesar dan putting istriku mencuat. Aku yakin, jika pasti ada sesuatu yang terjadi antara istri dan kekeponakanku ini.
“Hooaaahmmm….Cuaca hari ini membikin ngantuk ya…?” ujarku dari belakang Romy dan istriku duduk.
“Iya nih om… Sedikit bikin ngantuk…” Ucap Romy yang sedikit menengok ke arahku.
“Trus..trus.. gimana lanjutannya Rom…?” Tanya istriku lagi.
“Iya Tan… Jadi setelah itu…bla la bla…..” lanjut Romy dan
“Sialan…“ Ternyata mereka sudah sama sekali tak menggubris keberadaannku.
Hingga pada akhirnya, setelah 20-30 menit pembicaraan yang (bagiku) sangat membosankan, aku putuskan untuk hanya mengawasi gerak-gerik mereka dengan cara berpura-pura ketiduran. Walau aku hanya melihat kedua manusia berlawanan jenis ini dari arah punggung mereka, aku tahu jika situasi di kamar ini terasa agak aneh, terlebih aku merasa agak terangsang ketika mengawasi gerak tubuh mereka.Berulang kali, Romy melirik ke arahku yang berada jauh di belakang tempatnya duduk. Dan beberapa kali juga ia mengawasiku dari dekat, memastikan jika waktu itu aku sudah benar-benar tertidur pulas di sofa. Alunan musik yang lembut, ditambah sepoi angin yang masuk ke dalam kamar kamar hotel, membuat suasana semakin mesra. Dan entah darimana, kami tiba-tiba sadar jika suasana diantara kami bertiga mulai memanas. Tiba-tiba Romy bertanya kepada Dian mengenai hal yang sama sekali tak pernah aku bayangkan.
“Tante Di… apa boleh Romy mencium bibir tante…?” tanya remaja 15 tahun ini dengan malu-malu.
Butuh beberapa waktu bagi Dian untuk merespon pertanyaan Romy, tapi pada akhirnya ia mengangguk dan hanya berdiam diri. Pada awalnya, Dian tidak menanggapi permintaan aneh kekeponakannya ini.Istriku memilih untuk berdiam diri ketika menerima ciuman-ciuman keponakannya.Tapi, lama kelamaan, seolah ikut terbawa suasana horny, istriku mulai membalas ciuman dan kecupan Romy. Selama beberapa menit, mereka terlihat saling balas ciuman mesra. Saling jilat dan kulum, seolah mereka adalah sepasang pengantin baru yang sedang dilanda api asmara.
Menerima balasan yang positif dari istriku, Romy pun mulai melancarkan rayuan-rayuan mautnya.
“Kamu cantik Tante…”
“Tubuh tante wangi sekali…”
“Pasti Om Rudi beruntung banget bisa menikahi tante… “
“Andai saja tante belum menikah, Romy bersedia kok menikahi tante…”
Mendengar puji dan rayuan Romy, keponakannya, istriku sepertinya semakin bernafsu. Karena dari sofa tempatku berpura-pura tidur, aku bisa melihat gerak-gerik tubuhnya ketika sedang horny. Berulang kali, jemari lentik istriku membelai rambut, wajah dan lengan Romy.
“Tante Di… apa boleh Romy memegang tetek tante…?”
Mendengar pertanyaan keponakannya, istriku langsung menghentikan ciuman mesranya dan buru-buru menengok tajam ke arahku. Dan setelah beberapa saat, begitu mengetahui jika waktu itu aku masih dalam kondisi tertidur lelap, istriku mengangguk. Ia mengijinkan keponakannya itu untuk memegang payudaranya. Ini GILA. Mereka sudah benar-benar gila. Mereka melakukan perbuatan mesum tepat di depan diriku berada. Tubuhku tiba-tiba bergetar. Aku harusnya marah pada kekeponakanku yang telah menggoda istri orang. Aku harusnya murka kepada istriku yang telah membiarkan lelaki lain meraba tubuhnya. Namun, entah kenapa, melihat perbuatan mesum mereka saat itu, aku hanya diam saja dan menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Seiring dengan perbuatan cabul mereka, timbul perasaan aneh, antara gairah, nafsu, canggung dan cemburu.
“Sepertinya mereka tak akan berhenti sampai disini…” ucapku dalam hati.
Dan benar saja, tak lama kemudian, Romy kembali bertanya pada istriku.
“Tante Di… boleh nggak kalo Romy pengen melihat tubuh indah tante…” tanyanya polos sambil terus mencium bibir dan meraba-raba payudara montok istriku dari luar jubah tidurnya.
Mungkin karena istriku sudah terlalu horny, ia tak lagi melihat ke arahku. Karena begitu Romy selesai bertanya, ia langsung berdiri dari posisi duduknya, melepas jubah mandinya dan membiarkan jatuh ke lantai. Melihat perbuatan mereka, aku yang pura-pura tertidur di kursi santai, hanya bisa melenguh sambil menarik nafas panjang.
“Mereka pasti sudah kesetanan…” batinku.
“Biar adil… kamu juga bugil donk Rom… Tante pengen lihat gimana bentuk tititmu…” pinta istriku, sambil usapan tangannya ke kepala Romy.
“Titit? Titit tuh apaan ya tan…?”
“Titit… burung kamu….”
“HAHAHAHA…. maksud tante …? Titit mah punya anak kecil tan….”
“I…iya… maksud tante juga itu… Tante kepingin lihat kontolmu…”
Mendengar permintaan istriku, Romy seolah mendapatkan semangat baru. Dengan cepat, ia buru-buru melepas kaos gombrong dan celana pendeknya.
Dan. Setelah Romy melepas semua pakaiannya, aku baru menyadari jika ada sesuatu yang janggal pada tubuh remaja 15 tahun ini. Romy memiliki sebuah organ yang bisa membuat iri para pria. Romy memiliki sebuah benda yang bisa membuat wanita berteriak-teriak keenakan. Romy memiliki sesuatu yang bisa membuatnya melumpuhkan banyak wanita. Yup. Romy memiliki ukuran penis yang benar-benar panjang dan besar.
“Wooow…” pekik Dian ketika ia tahu barang yang sudah mengacung tegak di antara selangkangan kekeponakannya.
“Woow kenapa tante..?” Tanya Romy sok heran.
“Titit kamu besar sekali Rom….”
“Titit…?”
“Eh iya.. kamu besar banget…”
“Ahh… biasa aja kok tante… om Rudi pasti jauh lebih besar lagi…” ucap Romy malu-malu.